Senin, 30 Desember 2013

0

MA YAN---Sanie B. Kuncoro. Perjuangan Gadis Kecil Dari Cina Dalam Mengenyam Pendidikan


Judul      : Ma Yan
Penulis   : Sanie B. Kuncoro
Penerbit : Bentang, Yogyakarta
Cetak     : 2009
Tebal      : vii + 214 Halaman

 "Aku harus menahan lapar selama lima belas hari hanya untuk membeli sebatang pena."

What do you think guys? Tagline yang menggetarkan bukan? Ibuku baru meminjam buku ini dari perpustakaan kota minggu lalu. Aku langsung tertarik untum membacanya setelah membaca serangkai kalimat di atas itu. Puasa lebih dari 2 pekan hanya untuk membeli sebuah pulpen? Gila! Aku jadi membandingkan dengan diriku sendiri yang bisa dibilang sangat ceroboh dalam menyimpan hal-hal renik seperti pulpen. Kemudahan memang sering membuat seseorang sering meremehkan berbagai hal.

Mayan adalah seorang gadis yang tinggal di kampung pedalaman Cina, agak dekat dengan perbatasan Mongolia. Kampung yang ditinggalinya adalah kampung yang sama sekali tak tersentuh gelora kemajuan ekonomi Cina akhir-akhir ini. Ketika tahun 2008 Cina heboh dengan persiapan Olimpiade 2008, orang-orang kampung tempat Mayan tinggal hidup dalam kemiskinan yang telah diwariskan dari generasi-generasi sebelum mereka dan menderita kelaparan karena ladang yang kekeringan. Program modernisasi penebangan-penenbangan pohon pada rezim Mao Zhe Dong tahun 60-an dulu adalah satu alasan mengapa daerah itu mengalami desertifikasi yang parah.

Ibu Mayan yang miskin terpaksa berhenti sekolah untuk menikah dengan suaminya, seorang veteran perang komunis yang juga sama miskinnya. Ia bertekad agar kemiskinan dan penderitaan yang dialaminya tidak akan diwariskan kepada putra-putrinya. Maka walau kemiskinan sangat mencekik kehidupan mereka, ia tetap mengirim Mayan, si putri sulung, dan dua adik laki-lakinya pergi ke sekolah berasrama yang jauhnya 20 kilometer! Ia membekali Mayan dengan uang 1 yuan untuk bekalnya selama seminggu, juga 7 kue mangkok untuk bekal makan malam selama di asrama.

Suatu hari ketika menemani temannya ke pasar, Mayan melihat sebuah pena yang sangat indah. Harganya 2 yuan. Sayang ia tidak membawa uang saat itu. Akhirnya demi membeli pena, ia menyimpan bekal satu yuannya. Akibatnya, ia tidak bisa membeli sayur untuk lauk makannya dan terpaksa bertahan dengan hanya memakan semangkok nasi putih yang hambar setiap harinya! 

Minggu berikutnya, ternyata sang ayah tidak memiliki uang sehingga ia tidak mendapatkan satu yuan lagi untuk melengkapi simpanannya dan membeli pena itu. Terpaksa ia berpuasa lagi! Bayangkan... Dan Mayan menjalaninya dengan penuh keikhlasan tanpa mengeluh. 


Ia menggambarkan masa penantiannya itu dengan kalimat, "Sekeping yuan itu bagai seorang pengantin yang menunggu pasangannya." Ah...ungkapan romantis yang sungguh pahit. Seminggu kemudian, barulah ia memperoleh satu yuannya yang lain dan berhasil membeli pena, yang kemudian menjadi barang paling berharga baginya. Betapa sebuah perjuangan yang sangat berat bagi seorang gadis Cina yang miskin. Hanya untuk sebuah pena!


Novel ini ditulis bergantian tiap bab antara sudut pandang ibu dan Mayan, sehingga banyak bagian yang diulang. Tapi menurutku itu justru membuat suasana hati dan kepedihan dalam cerita benar-benar terasa nyata. Kita diajak menyelami kesengsaraan hidup dari sudut pandang dua perempuan tegar sekaligus. Walau demikian, novel ini bukanlah novel cengeng yang menjual penderitaan dan air mata, tapi lebih pada perjuangan dan kepasrahan seorang insan akan takdirnya. Tengok surat yang ditulis Mayan ketika ia memohon kepada ibunya agar tidak dihentikan dari bersekolah. Sungguh-sungguh sangat mengharukan. 

Sebagai catatan tambahan, novel ini diterbitkan oleh penerbit Bentang Pustaka, sama seperti seri Laskar Pelangi. Tengok tulisan "Laskar Pelangi" yang ada di pojok kiri buku. Novel ini jelas dibuat dan diterbitkan bersamaan dengan merebaknya tren Laskar Pelangi... Sayangnya novel ini terasa kurang tuntas dalam penyelesaian ceritanya. Tidak seperti serial Laskar Pelangi yang menceritakan perkembangan tokoh utamanya dalam mengenyam pendidikan, hingga pencapaiannya ketika dewasa, akhir novel ini dibiarkan mengambang. 

Namun, sepertinya realita yang banyak terjadi di luar sana lebih cocok dengan ending semacam ini... Terkatung-katung... Pahit, tapi itulah hidup.

Yang paling ironis adalah sikap kita setelah membaca novel ini. Sebagian dari kita mungkin akan berurai air mata dalam menyimak perjuangan Mayan mengenyam pendidikan di tengah segala keterbatasan. Lalu seminggu kemudian, kita akan kembali bermalas-malasan, mengeluhkan dosen, guru, dan mata pelajaran yang semakin susah, dan sebagainya... Tanpa menyadari bahwa "hak" untuk mengeluhkan hal-hal semacam itu secara casual adalah anugerah...

0 komentar:

Posting Komentar

Salurkan Apresiasimu Di Sini Nyaaaw (^,^)v