Minggu, 28 Agustus 2016

1

Negeri Bawah Air: Tentang Persahabatan, Pengertian, dan Kehilangan



Judul: Negeri Bawah Air
Penulis: Ary Nilandari
Ilustrator isi dan kover: K. Jati
Penerbit: Balai Pustaka
Cetakan Pertama: 2009
Tebal: 160 halaman
Harga: Rp 35.000,00 (Bisa didapat dengan harga diskon 10% di sini)



Setahu saya, jarang ada buku anak-anak buatan pengarang Indonesia yang tema ceritanya soal mental health awareness issue. Sementara itu saya sempat tercengang saat buku-buku anak terjemahan baik buatan pengarang barat maupun Asia membawa isu soal perceraian, elective mutism, autisme, anak-anak yang sulit belajar, dan lain-lain. Menurut saya, tema-tema seperti yang dibawa oleh Negeri Bawah Air sebaiknya mulai diperkenalkan sejak dini, agar anak-anak bisa dididik lebih peka terhadap penderitaan kawan sebayanya. Agar tak mudah mencap dan menjauhi kawan-kawannya yang mungkin "sedikit berbeda" dengan mereka.


Awalnya saat melihat kovernya saya mengira ini adalah petualangan anak-anak ke dunia fantasi yang ada di bawah laut. Lalu mengira ini adalah cerita tentang petualangan anak-anak yang terlibat dalam penyelamatan terumbu karang. Ternyata cerita ini menggabungkan antara dunia fantasi dan riil. Menariknya, seperti yang saya bilang di atas, ada muatan isu mental health awareness issue yang cukup serius dan mendalam di sini, dengan adanya kasus traumatis yang dialami tokoh bernama Meutia. Elemen masalah psikologis pun ada pada tokoh-tokoh lain, meski lebih ringan, semuanya bisa dijalin menjadi satu kesatuan yang apik dan menyentuh hati. Kekuatan kisah imajinasi yang bercampur dengan dunia nyata dalam cerita ini mengingatkan saya pada film Bridge of Terabithia.


Hingga halaman 47, penulis memperkenalkan tiga tokoh anak laki-laki yang nantinya akan berperan sebagai para ksatria di sini. Ada Ridwan, anak yatim yang berdarah Sunda dan sangat gemar membaca, ada Chang anak Tionghoa kaya pemilik peternakan sapi di Lembang yang mengidap asma sehingga dunianya sering terkungkung di rumahnya yang mewah, dan ada Rambe yang berasal dari keluarga Tapanuli beranak banyak hingga dirinya sering merasa dilupakan oleh uma alias ibunya sendiri. Rupanya Mbak Ary Nilandari menyisipkan nilai Bhinneka Tunggal Ika di sini. Prinsip yang terus beliau pertahankan saat menulis serial Go Keo & Noaki yang sedang berlangsung saat ini.


Liburan mereka bertambah aneh sekaligus seru saat Rambe tak sengaja berkenalan dengan Meutia di halaman villa yang dulu ditempati Dr. Rahmat dan istrinya. Anak perempuan itu mengaku dirinya putri dari negeri bawah air dan berkata bahwa kerikil-kerikil kecil di halaman rumahnya adalah adik-adiknya yang kena kutuk penyihir jahat bernama Rangaswazir. Meutia pun menceritakan kronologi kisah yang panjang tentang bagaimana kedua orangtuanya terbunuh oleh konspirasi Rangaswazir yang tadinya menjabat sebagai perdana menteri. Rambe hanya bisa terbengong mendengar kisah yang sungguh ajaib itu. Apalagi saat Meutia memohon kepadanya untuk membantu menyelamatkan "adik kembar" Meutia yang sudah disihir jadi kerikil.


Cara Meutia menceritakan tragedi itu benar-benar terdengar meyakinkan meski elemen-elemen seperti negeri bawah air, manusia yang bisa bernapas dan berjalan di dalam laut, jelas fantasi. Sadarlah Rambe bahwa Meutia seolah tak bisa membedakan mana yang khayal dan mana yang nyata. Seperti adiknya yang masih kecil dan berumur empat tahun. Padahal, Meutia yang ada di hadapannya tampak sebaya dengan Rambe yang saat itu baru naik ke kelas 6. Menarik sekali membaca proses Rambe menganalisis dan mengira-ngira motif di balik khayalan Negeri Bawah Air Meutia. Ia sempat mengira anak itu adalah salah satu korban tsunami Aceh tahun 2004. Tapi apa itu benar??? Yang jelas Rambe merasa khayalan Meutia tidak biasa dan hal itu menerbitkan rasa ibanya.


Namun, perbincangan itu disela oleh kemunculan Ratna, sepupu Meutia yang langsung marah-marah saat tahu gadis itu menceritakan "khayalan ngawurnya" pada Rambe. Meutia histeris saat Ratna menarik tangannya dengan kasar sambil mengancam-ancam. Meutia berkata bahwa "Dayang Ratna sudah terkena kekuatan jahat Rangaswazir sehingga bersikap jahat padanya, seperti banyak orang yang ia kenal dari Negeri Bawah Air. Rambe pun pergi, namun ia kembali dengan membawa Ridwan dan Chang. Ketiga anak itu pun "menyulap" diri mereka menjadi Pangeran Ridwan Harris, Adipati Lim Kuo Chang dan Hulubalang Rambe Muhammad Ritonga demi membantu Meutia menghadapi ketakutannya terhadap Rangaswazir. 


"Pangeran" Ridwan yang ternyata dulu pernah kenal dengan Ratna sebelum gadis itu pergi ke Jakarta berusaha mengetuk hati gadis itu dengan menceritakan kesedihannya akan kematian sang ayah. Dengan mendengarkan cerita tentang ayah Ridwan, Ratna akhirnya berusaha memahami kesedihan yang dialami Meutia, dan mau ikut membantu ketiga ksatria memberantas teror Rangaswazir demi Meutia. Kelima anak itu pun berangkat menuju perang terakhir di curug "air suci". 


***

Setiap tokoh anak dalam cerita ini memiliki kesedihannya masing-masing. Kesedihan yang mendalam, terasa riil, dan mungkin sulit dipahami orang-orang dewasa. Chang yang terbelenggu oleh asma, Ridwan yang dibebani kematian ayahnya, dan Rambe yang merasa dilupakan ibunya.


SPOILER ALERT: Lewati bagian ini jika tidak ingin membaca spoiler

Tokoh anak perempuan pun punya masalah tersendiri. Meutia memilih melarikan diri ke Negeri Bawah Air sebagai kompensasi atas musibah yang merenggut keluarganya. Ratna ingin adik dan karena itu dengan senang hati menampung Meutia yang kehilangan keluarga sampai sepupunya itu jadi aneh dan memperlakukannya seperti dayang. (Spoiler ends)


Uniknya, seperti yang dikatan pengarang dalam blognya, memang tak ada pengaruh orang dewasa dalam masalah mereka. Kelimanya saling membantu demi mengobati luka hati masing-masing. Anak-anak ini juga digambarkan berpikir kritis untuk menganalisis dan memecahkan masalah. Dan karena peran orang dewasa tidak menonjol di sini, semuanya (kecuali Ratna) jadi tak memiliki prasangka terhadap masalah teman-temannya. Saya membayangkan, jika ada anak seperti Meutia dalam dunia kita, mungkin para orangtua sudah menyuruh Ridwan, Rambe, dan Chang menjauhi gadis itu dan menudingnya sebagai anak aneh atau sinting. 


Dan menyenangkan sekali membaca kisah soal anak laki-laki yang gentle dan humanis seperti Ridwan, Rambe, dan Chang hingga mau membantu Meutia menghadapi ketakutannya. Begitu gentlenya sampai saya merasa karakter mereka bertiga terasa utopis (kita sudah terbiasa dengan anak laki-laki yang usil dan bersikap kurang ajar pada anak-anak perempuan ^^v). Tapi... jika karakter-karakter dalam novel ini bisa ditanamkan pada anak-anak, alangkah menyenangkannya masa anak-anak. Trauma masa kecil, kasus bullying, dan hal-hal mengerikan yang menimpa dunia anak-anak saat ini mungkin bisa jauh berkurang.


Adegan paling lucu menurut saya adalah saat Chang merasa sesak napas di curug saat "berhadapan dengan Rangaswazir" dan berada di ambang maut. Meutia yang hanyut dalam perannya sebagai putri malah mengoceh soal Rangaswazir dan itu membuat Chang jadi sebal. Jadi ini adegan yang gawat, tapi jadinya malah kocak (dalam artian positif). 


***

Sayangnya, novel ini baru terasa menarik setelah 47 halaman awal terlewati, yaitu mulai dari adegan setelah Rambe bertemu dengan Meutia. Dari situ barulah misteri dalam novel ini begitu terasa menggugah rasa penasaran dan tampak jelas akan di bawa ke arah mana. Sebelumnya penulis memang menceritakan soal keseharian Rambe, Ridwan, dan Chang serta penguatan karakter dan ciri khas masing-masing tokoh. Tapi akan lebih baik jika misteri soal Meutia mungkin sudah disuguhkan sebagai gosip di awal cerita. Agar cerita lebih mengikat dari awal. Karena sebelum sampai di halaman 47 itu saya terus bertanya-tanya, "ini mana Dunia Bawah Air"nya? Setelah itu baru kepingan-kepingan puzzle mulai terangkai satu demi satu. Dan setelah itu, setiap kali membaca ulang novel ini, cerita rasanya jadi semakin haru dan memikat. 


Cara penulis dalam memberikan petunjuk atas apa yang sebenarnya terjadi pada Meutia juga menarik. Keping-keping puzzle diberikan melalui detail cerita yang ada. Mengajak pembaca ikut merangkai dan menduga-duga apa yang sebenarnya terjadi pada Meutia. Benarkah dia anak korban tsunami Aceh? Apa yang sebenarnya terjadi pada orangtua dan "adik-adik" Meutia? Dan ketika semua rahasia terbuka di akhir, barulah kita bisa paham, oh jadi karena itulah ada elemen ini dan itu pada cerita Meutia.


Nama Rangaswazir sebagai tokoh antagonis di sini juga menarik. Diceritakan bahwa Rangaswazir adalah perdana menteri yang kemudian kehilangan wujud kasarnya setelah hatinya jadi busuk. Ia pun menebarkan ketakutan pada orang-orang dan anak-anak berhati lemah. 


Spoiler: Rangaswazir sendiri adalah simbol akan kekacauan yang menimpa dunia saat ini. Rangaswazir bisa mewakili apa saja, kelaparan, bencana alam, sifat rakus manusia, dll. Dan nama yang terkesan sangar ini menurut saya benar-benar permainan kata apik dari anagram "Wazir sangar". Sederhana tapi unik


Lalu, lebih baik jika adegan-adegan dalam cerita ini diberi jeda tanda bintang (***) di beberapa bagian. Terutama ketika ada pergantian adegan, tempat, atau waktu, atau sudut pandang penceritaan karakter. Pada beberapa bagian (meski tak semua), bagian-bagian itu begitu panjang tanpa jeda sehingga jika saat membaca kurang konsentrasi, perpindahan-perpindahan itu jadi agak membingungkan. Dan... agak susah saat membaca bagian cerita yang memperkenalkan konflik Rambe dengan keluarganya yang banyak itu. Ada banyak seliweran nama seperti Tagor, Oloan, dll yang diceritakan dalam satu frame sekaligus. Meskipun pada akhirnya nama-nama tersebut tak terlalu berperan dalam cerita.


Lalu awalnya sempat menebak-nebak di mana seting cerita ini, karena para tokohnya tampak multietnis. Baru kemudian pada halaman berapa puluh sekian disebutkan bahwa setingnya di Lembang. Jadi ingat film Petualangan Sherina hehe...  Sebaiknya kejelasan seting tempat dijabarkan dari awal agar pembaca bisa langsung membayangkan suasananya.


***

Buku yang ada pada saya ini adalah cetakan kedua tahun 2010. Jadi sudah langka dicari. Saya sendiri mendapatkannya setelah pesan dari toko buku online Belbuk. Tentunya asyik kalau buku ini bisa diterbitkan ulang. Namun, penulisnya mengalami kesulitan untuk melakukan hal itu, karena ternyata... penerbit Balai Pustaka sudah lama tutup dan... penulis kesulitan mengurus pengalihan hak terbit. Penulis sudah berusaha menghubungi pihak-pihak terkait namun... belum mendapat tanggapan yang berarti. Tentu bagus jika sesama penulis buku anak bisa bahu-membahu memberikan dukungan soal ini. Siapa tahu ada penulis-penulis lain yang bernasib serupa?


Kabar terakhir, penulis tampaknya berniat mengedit ulang cerita ini dengan layout dan ilustrasi yang baru untuk proyek amal budaya membaca. Semoga niat ini pun bisa mendapat dukungan dari sesama penulis dan ilustrator buku anak lainnya. Sayang jika kisah-kisah seperti Negeri Bawah Air berhenti sampai di sini saja.



Tung-Tung bercucuran air mata selesai membaca buku ini XD