Selasa, 31 Desember 2013

0

DUA MALAM DIBUAT MABUK DALAM PELAYARAN PERAHU KERTAS



Judul: Perahu Kertas
Penulis: Dee (Dewi Lestari)
Penerbit: Bentang Pustaka & Truedee
Cetakan Pertama: Agustus 2009
Tebal: 456 halaman
Harga: Rp 69.000,00


Neko benar-benar nggak menyangka. Sudah hampir sebulan kiranya tak kunjung tergerak untuk segera menaiki Perahu Kertas yang dinahkodai oleh Dee, sekalinya iseng-iseng naik, eh malah terjebak di dalamnya selama dua hari berturut-turut. Kapten Dee telah membawa Neko mengarungi tempat-tempat seperti Sanur, Ubud, hingga Ranca Buaya. Kadang kala perahu itu bergerak meninggalkan samudra dan melayang di atas kota Bandung dan Jakarta. Pada akhirnya, pelayaran itu berhenti dan Neko pun kembali ke Malang dalam keadaan sempoyongan akibat mabuk kepayang. Awesome! Gelombang-gelombang kisah dalam dongeng Perahu Kertas sukses membuat Neko terombang-ambing (sampai minum Antimo berkali-kali) dan nyaris kesasar. 


Tadinya Neko kira Keenan sang pelukis akan langsung jadian dengan Kugy, si juru dongeng, setelah berkali-kali menghadapi proses munculnya pihak ketiga. Nyatanya kisah roman ini tidak selesai semudah itu. Agaknya Neko lupa bahwa novel ini memiliki ketebalan 444 halaman (434 untuk murni cerita). Lupa juga akan kenyataan bahwa Dee pernah meraih penghargaan The Most Playful Reader's Mind Writer. Menjelang puluhan halaman terakhir, Neko udah miris dan pesimis bahwa Kapten Dee akan membiarkan dua awak utama perahunya, Keenan dan Kugy, bersatu dan hidup bahagia selamanya. Neko sudah siap menelan cerita pahit akan kasih tak sampai. Neko sudah bersiap-siap menghela nafas untuk berhadapan dengan fakta bahwa tak selamanya kita bisa mendapatkan semua yang kita inginkan seperti dalam dunia dongeng. Bahkan dalam dunia dongeng sekalipun. Adakalanya dongeng indah tak berakhir indah.


Namun, tanpa tedeng aling-aling, ketika perahu ini sudah semakin dekat dengan kenyataan yang pahit itu, tiba-tiba Kapten Dee memutar kemudinya. Perahu kertas yang Neko tumpangi pun berbalik 180 derajat menuju ending yang Neko kira mustahil. Dan taraaaa…di sinilah Neko sekarang, menyumpah-nyumpah karena berhasil dipermainkan lagi oleh Dee. (Somebody please bring me Antimo or Antangin!) Ada bahagia, juga sedikit rasa sebal dengan ending pelayaran ini. Keenan dan Kugy pun berhigh five di depan Kapten Dee yang berseloroh melalui senyumnya, "Rasain lu, udah mabok kena perahu kertas gue."
SIAL!
*****


Hah? Dee nulis teenlit populer? Begitu pemikiran Neko saat membaca sinopsis di kover belakang Perahu Kertas.


Namanya Kugy. Mungil, pengkhayal, dan berantakan. Dari benaknya, mengalir untaian dongeng indah. Keenan belum pernah bertemu manusia seaneh itu.
Namanya Keenan. Cerdas, artistik, dan penuh kejutan. Dari tangannya mewujud lukisan-lukisan magis. Kugy belum pernah bertemu manusia seajaib itu.
Dan kini mereka berhadapan di antara hamparan misteri dan rintangan.
Akankah dongen dan lukisan itu bersatu?
Akankah hati dan impian mereka bertemu?

 
Sinopsis itulah yang membuat Neko mengacuhkan perahu ini selama satu bulan. Saya sudah membaca Ketiga seri Supernova, Filosofi Kopi, sampai Rectoverso. Sekarang Dee malah membuat cerita dengan konsep se-simple dan seklise ini? Come on!


Yah, berapa banyak formula cerita-cerita roman yang diramu dengan larutan "cewek aneh ketemu pangeran keren nan tampan"? Dalam perahu ini, awak kapal yang aneh itu adalah Kugy, cewek buta fashion dengan pemikiran kanak-kanak yang terbungkus acak dalam casing seorang mahasiswi Fakultas Sastra yang bercita-cita menjadi penulis dongeng. Lalu sesuai dengan sinopsisnya, pangeran tampan yang memancarkan pesona fisik alami (blasteran Belanda bow!) yang terdampar di perahu ini tentu saja Keenan.



Versi cover yang lain. Neko sih lebih suka yang ijo. Bagaimana dengan kamu?
    
Dan kemudian silih berganti hal-hal yang saya anggap klise khas teenlit atau chicklit mengisi lembar-lembar pertama novel ini. Keenan yang berkeinginan menjadi pelukis tapi ditentang sang ayah lalu dipaksa kuliah di jurusan manajemen. Persahabatan Kugy, Noni, dan Eko . Surat-surat dalam perahu kertas yang dilayarkan oleh Kugy untuk Dewa Neptunus, dan akhirnya sang pangeran (Keenan) pun tertarik dengan Kugy, si Mother Alien. Dialog-dialog ringan pun mengalir. Neko tetap bertahan, menanti-nanti sang Nahkoda memperlihatkan ciri khasnya yang sesungguhnya. 


Kugy tertarik dengan bakat melukis Keenan. Di saat yang sama, Keenan pun tertarik dengan dongeng-dongeng unik yang ditulis Kugy. Ia lalu melukis karakter-karakter berdasarkan cerita itu. Alhasil, Kugy pun terharu dan hoplaaa… munculah bibit rasa suka di hati mereka berdua. Namun, bibit itu tak dengan mudahnya saja berkembang, karena Kugy sudah memiliki Joshua atau Ojos. Baiklah…cinta segitiga pun dimulai. Di tengah-tengah kebingungan Keenan dan Kugy, Kapten Dee menambahkan konflik menjadi cinta segiempat dengan memunculkan Wanda. Wanda adalah seorang kurator lukisan muda yang naksir setengah mati pada lukisan Keenan dan juga pelukisnya. Wanda yang Miss Perfect, cantik, berselera fashion tinggi dan mengerti benar dunia Keenan sukses membuat Kugy minder dan pelan-pelan mundur teratur. Sering dengar situasi ini kan di chicklit-chicklit? Tokoh utama dibuat berkecil hati oleh kedatangan pesaing yang memiliki kelebihan dalam segi fisik. Neko hanya menghela nafas, tapi tak juga memutuskan untuk mengakhiri pelayaran ini.


Situasi semakin menyesakkan bagi Kugy ketika Noni dan Eko (pacar Noni), sahabatnya, berniat untuk mencomblangi Wanda dengan Keenan dan…berhasil! Dari sini konflik psikologis yang diderita Kugy diperlihatkan begitu ekstrim. Gadis yang dijuluki Mother Alien pun pelan tapi pasti mulai mengalienasi dirinya dari orang-orang terdekatnya. Eko, Noni, dan tentu saja Keenan mulai bertanya-tanya, tapi Kugy tetap bungkam dan terus menjauh. Di saat yang sama Keenan memutuskan untuk mengambil keputusan paling ekstrim sepanjang hidupnya: berhenti kuliah. Keenan memutuskan untuk memilih melukis sebagai jalannya setelah keempat lukisannya yang dipajang di galeri seni bergengsi, Warsita, milik ayah Wanda laku terjual. Keputusan ini berarti Keenan melawan ayahnya dan akhirnya didepak dari rumah. 


Keenan lalu memutuskan untuk hidup prihatin dengan pindah ke kamar kos yang sangat kumuh, sementara ia menyiapkan diri untuk pameran lukisan di Jakarta yang dijanjikan Wanda. Mulai dari sini Neko mulai menahan nafas. Pasalnya keempat lukisan itu sebenarnya laku karena dibeli sendiri oleh Wanda. Bukan oleh kolektor lain yang memang tertarik dengan bakat anak muda itu. Keenan sudah DO dari kuliahnya, didepak oleh ayahnya, dan menjadi semakin kurus karena harus menghemat ini-itu sejak tinggal di tempat kosnya yang pengap. Apa jadinya bila ia tahu kebohongan Wanda???


Kugy yang semakin frustasi akan perasaannya sendiri memutuskan untuk mulai menyibukkan diri dengan mengambil SP dan semakin serius dengan kuliahnya. Ia lalu menjadi sukarelawan di Sakola Alit, sekolah yang dirintis oleh teman-temannya bagi anak-anak buta huruf di sebuah desa yang terpencil di Bandung. Di sana ia berhasil merengkuh hati murid-muridnya yang bandel dengan metode menulis dongeng. Ia menulis buku dongeng tentang kehidupan anak-anak sekelasnya untuk memotivasi mereka belajar membaca. Terciptalah dongeng Jendral Pilik dan Pasukan Alit. Setelah menyelesaikannya, buku pertama dongeng itu berpindah tangan kepada Keenan. Kisah-kisah di dalamnya menginspirasi Keenan dan membuatnya menemukan karakter yang kuat bagi lukisan-lukisannya. Terciptalah lukisan Jendral Pilik dan Pasukan Alit.


Kesibukan Kugy membuat perhatiannya terhadap Keenan teralih sekaligus menyeretnya semakin menjauh dari kedua sahabatnya, Eko dan Noni, juga pacarnya, Ojos. Hebatnya lagi Kugy tetap teguh untuk menanggung semua beban hatinya sendirian. Puncaknya tidak hadir di pesta ultah Noni. Pasalnya pesta itu diadakan di rumah Wanda. Persahabatan yang telah terjalin selama 20 tahun pun retak sudah. Di saat yang sama, Keenan pun juga retak setelah kebohongan gigantis Wanda dibongkar sendiri oleh pelakunya dalam keadaan mabuk. Keenan langsung mengembalikan cek hasil penjualan keempat lukisannya kepada Wanda dan menghilang.


Keenan benar-benar mencapai titik paling nadhir hidupnya. Tanpa uang, keluarga, harapan dan kebanggaan, ia memutuskan untuk membuang mimpinya. Berhenti melukis. Hal yang justru membuat Kugy semakin tidak simpati. Keenan pun makin terpuruk. Untungnya, sebelum pangeran kita semakin frustasi dan akhirnya memutuskan bunuh diri dengan melompat keluar dari Perahu KertasKapten Dee segera bertindak. Buru-buru ia mengirim Keenan ke Ubud dengan sekoci. 


Setelah Keenan mengetahui kebohongan Wanda, dengan hati hancur, ia mengirimkan keempat lukisannya yang tadinya dibeli Wanda dan lukisan Jendral Pilik ke Poyan (Paman) Wayan di Ubud. Wayan adalah seorang seniman Bali yang merupakan sahabat lama ibunya. Orang yang sudah menjadi ayah kedua baginya. Saat mengirimkannya, Keenan tak menduga bahwa satu dari kelima lukisan itu akan segera membawa titik balik dalam hidupnya. Paman Wayan memajang lukisan Jendral Pilik dan Pasukan Alit, dan segera laku seharga tiga juta, dibeli oleh seorang kolektor. Mengetahui hal itu, Keenan pun memutuskan untuk mengejar kembali mimpinya di Ubud.


Di sana ia bertemu Luhde, seorang remaja keponakan Wayan yang menyimpan pemikiran mendalam di balik penampilannya yang lugu dan belia. Luhde adalah karakter favorit saya, karena kata-katanya sangat dalam untuk dijadikan bahan kontemplasi. Luhde adalah bagian dalam cerita ini yang akhirnya terasa "Dee banget" bagi saya. Ketika Keenan merasa ragu karena tidak bisa menghasilkan lukisan lagi, Luhde berkata-kata:


"Pelukis yang baik bisa mengungkapkan semuanya, termasuk kekosongan sekalipun."

"Kadang-kadang kanvas kosong juga bersuara. Tanpa kekosongan, siapa pun tidak akan bisa memulai sesuatu."

Ketika Keenan mulai kehabisan ide untuk melukis, Luhde berkata:

"Kadang-kadang langit bisa kelihatan seperti lembar hitam yang kosong. Padahal sebenarnya tidak. Bintang kamu tetap ada di sana. Bumi hanya sedang berputar."

Ketika Keenan terkenang akan Kugy, Luhde menyentak kesadaran lelaki itu dengan berujar:

"Kenangan itu cuma hantu di sudut pikir. Selama kita cuma diam dan nggak berbuat apa-apa, selamanya dia tetap jadi hantu. Nggak akan pernah jadi kenyataan."


Keenan teringat akan buku dongeng Jendral Pilik dan Pasukan Alit yang terus menemaninya sampai Ubud. Berbekal buku itu, ia pun melukis dan melukis lagi. Memvisualisasikan dongeng-dongeng Kugy di atas kanvas. Kolektor lukisan yang pertama kali membeli lukisan Jendral Pilik datang lagi dan kembali membeli lukisan-lukisan Keenan. Berawal dari situ, kolektor-kolektor lukisan lain pun mulai memburu lukisan Keenan. Keenan pun lalu menjalin hubungan dengan Luhde. Lembaran baru bagi Keenan pun dimulai.


Sementara itu di Bandung, Kugy akhirnya putus dengan Ojos dan pindah kos karena tidak tahan terus perang dingin dengan Noni. Saat ia ngebut menyelesaikan skripsi, Eko banyak membantunya dan justru membuat Noni cemburu dan semakin memusuhi Kugy. Akhirnya setelah dilabrak Noni, Kugy memutuskan untuk hengkang ke Jakarta dan memulai karir barunya sebagai copy writer di sebuah perusahaan periklanan. Ia bertemu dengan Remi, atasannya yang populer yang kagum dengan keunikan Kugy. Apalagi setelah Kugy berhasil membuat presentasi yang sangat bagus bagi sebuah produk perusahaan kelas kakap. (yah lagi-lagi pola cowok keren naksir cewek aneh berulang). Kugy pun mulai menjadi orang kepercayaan kantor dan berulang kali diserahi tanggung jawab sebagai project leader. Hubungan Kugy dan Remi naik tingkat, dari atasan-bawahan, menjadi sepasang kekasih. Lembaran baru bagi Kugy pun dimulai.


Pola cinta segiempat yang samar berulang. Kenapa samar? Karena baik Keenan dan Kugy agaknya secara alam bawah sadar terus mencintai walau sudah menjalin hubungan dengan orang lain di tempatnya masing-masing. Hal ini ditunjukkan dengan Keenan yang tak bisa lagi melukis saat semua kisah dalam buku dongeng Kugy selesai ia lukiskan di atas kanvas. Lalu ibu Keenan datang ke Ubud untuk mengabarkan bahwa ayahnya menderita stroke dan lumpuh total. Keenan kembali ke Jakarta dan mengambil alih kepemimpinan perusahaan untuk sementara. 


Noni akhirnya mengerti alasan Kugy bertingkah aneh selama ini setelah menemukan dan membaca sebuah buku dongeng yang dibuat Kugy untuk hadiah ulangtahun Keenan. Noni pun berinisiatif untuk menyambung kembali persahabatan yang telah putus, setelah tiga tahun lamanya… Diam-diam Noni dan Eko pun mengatur pertemuan Keenan dan Kugy di pesta pertunangan mereka.


Keenan dan Kugy lalu sepakat untuk bekerjasama membuat proyek untuk memperkenalkan Jendral Pilik dan Pasukan Alit kepada khalayak dalam bentuk buku dongeng berilustrasi sekaligus pameran lukisan. Kugy memutuskan keluar dari pekerjaannya sebagai copy writer, dan fokus pada mimpinya sejak kecil: menulis dongeng. Kali ini Keenan yang menyertainya membuat Kugy lebih bersemangat. Kemudian sedikit demi sedikit pun terkuak bahwa Remi adalah pembeli pertama lukisan Keenan (yah sudah nebak sih), alasan ayah Keenan tidak menyetujui Keenan melukis dan semua itu berhubungan dengan masa lalu ibu Keenan dan Wayan.


Pola kedua ini berbeda dengan pola cinta segiempat yang pertama ketika pembaca dibuat sulit untuk bersimpati kepada pihak intruder Wanda dan Ojos. Remi dan Luhde adalah tokoh-tokoh yang mendampingi dua karakter utama dalam mengembangkan diri masing-masing. Remi dan Luhde menyertai kedua tokoh utama ketika jatuh dan frustasi, mengobati luka hati mereka berdua. Karena itu walaupun akhirnya Kugu dan Keenan saling mengakui ketertarikan mereka pada satu sama lain (ya ampuuun lemot banget sih dua orang iniiii >_<), hal itu justru makin menyesakkan mereka. Tak mungkin bagi mereka untuk bersatu selamanya dalam kondisi seperti ini.


Pada akhirnya ending kisah ini pun ditentukan dengan untaian kata, "Hati tak perlu memilih cinta, melainkan dipilih oleh cinta." Afterwords, ternyata memang mustahil mengharapkan sesuatu yang benar-benar klise dari seorang Dee. 


Nb: Thanks for Angie Pritha. Sebelum menemukan keberadaan novel ini di rak buku kamarnya, Neko nggak pernah nyadar kalo novel Perahu Kertas yang bertebaran di Gramedia itu ditulis oleh Dee. Hehehe

Note: 

Novel ini mendapatkan nominasi untuk Khatulistiwa Literary Award untuk Kategori Fiksi (2010), dan juga mendapat Anugerah Pembaca Indonesia untuk kategori Sampul Buku Fiksi Terfavorit (2010)

Resensi ini dibuat pada 6 Juni 2010. Waktu itu Neko publish di blog flpumpublishing...

Senin, 30 Desember 2013

0

Amira and Three Cups of Tea -- Greg Mortenson



Amira and Three Cups of Tea (kisah inspiratif keluarga AS yang mendirikan sekolah di perbatasan Afghanistan). 

Penulis  : Greg Mortenson & David Relin
Penerjemah: Ingrid Nimpoeno
Terbitan: Qanita (Mizan Group)
Cetakan Pertama: November 2009
Harga: Rp 41.000,00
Tebal: 272 halaman


Hari ini Neko belajar satu hal dari kata-kata seorang kepala Desa Korphe (salah satu desa yang terletak di sekitar gunung K2--puncak tertinggi di dunia.) "Mungkin kami tidak berpendidikan. Tapi kami tidak bodoh. Kami telah bertahan hidup di sini dalam waktu yang lama."


Itu adalah salah satu kutipan dari buku Amira and Three Cups of Tea yang baru-baru ini Neko baca.

Kata-kata itu dikatakan Haji Ali--kepala Desa Korphe setelah Greg Mortenson mengawasi pekerjaan orang-orang desa dalam membangun sekolah pertama di desa yang letaknya agak menjorok ke jurang itu. Sebagai mandor, Greg sudah membuat semua orang menjadi gila. Begitu kata Haji Ali. Lelaki tua itu pun mengajak Greg beristirahat sejenak di rumahnya dan menyuruh lelaki Amerika yang tidak sabaran itu tutup mulut sembari mendengarkan beberapa kata bijak darinya.

Greg Mortenson yang merasa dibebani tanggung jawab oleh Jean Hoerni, penanggung dana terbesarnya, untuk segera menyelesaikan sekolah. Kalau membaca buku itu, maka pembaca bisa melihat bahwa walau baik hati dan dermawan, Jean Hoerni adalah orang yang galak dan suka mendesak. Tak heran Greg pun jadi gusar ketika pembangunan sekolah itu berjalan tidak secepat yang ia harapkan. Padahal, tentu saja ia tahu betapa sulitnya medan di sekitar lokasi untuk membangun sekolah itu. Terutama karena para lelaki yang sedianya menjadi tenaga untuk mengangkuti bahan bangunan dan membangun setiap batunya harus bekerja sebagai pemandu para pendaki gunung. Kebanyakan warga Korphe adalah orang miskin dan tidak berpendidikan. Anak-anak Korphe belajar di tengah udara dingin di luar rumah karena mereka tidak punya bangunan sekolah dan juga terlalu miskin untuk membangunnya.

Sebelum Greg Mortenson akhirnya membangun jembatan sebelum akhirnya sekolah, desa itu dipisahkan dari dunia luar oleh jurang yang menganga lebar. Pembangunan jembatan yang sangat vital itu rupanya tidak masuk perhitungan Greg sebelumnya.

Orang-orang Korphe yang tinggal menjorok ke arah jurang memerlukan jembatan itu dulu daripada sekolah. "Ya, jembatan besar dari batu," jelas Twaha (anak Haji Ali), juga dalam bahasa Inggris. "Sehingga kita bisa mengangkut sekolahnya ke Desa Korphe." (hal. 72)

Greg tentu saja kaget.

Sebelumnya, untuk bisa mencapai Desa Korphe lewat jalan biasa, orang-orang menggunakan box kayu yang digantung untuk melintasi tali di atas jurang (mungkin semacam kereta gantung versi primitif)Tak mungkin bahan-bahan bangunan dengan berat ratusan kilogram yang sudah dibeli Greg itu bisa diantarkan ke Korphe lewat box kayu itu kan?

Maka Greg terpaksa kembali lagi ke Amerika untuk mencari dana sebelum akhirnya kembali ke Korphe untuk memulai pembangunan jembatan.

Karena merasa diburu oleh waktu dan tanggung jawab, Greg tanpa sadar mungkin memperlakukan orang-orang desa yang membantunya membangun sekolah terlalu keras, sehingga akhirnya Haji Ali menegurnya secara halus.

"Mungkin kami tidak berpendidikan. Tapi kami tidak bodoh. Kami telah bertahan hidup di sini dalam waktu yang lama."

Pada saat itulah Greg Mortenson menyadari pelajaran berharga yang didapatnya dari seorang tua yang tinggal di sudut puncak tertinggi di dunia.

"Kami, orang Amerika, mengira harus menyelesaikan segalanya dengan cepat... Haji Ali mengajariku untuk berbagi tiga cangkir teh, untuk mengurangi kecepatan dan menjadikan pembangunan hubungan antar manusia sama pentingnya dengan proyek-proyek pembangunan."

Pelajaran yang ia dapat itu masih ada lanjutannya:

"Dia mengajariku bahwa ada banyak hal yang harus kupelajari dari orang-orang yang bekerja bersamaku, jika dibandingkan dengan apa yang kuharap bisa kuajarkan kepada mereka." 

Siapakah Greg Mortenson? Bagaimana dia akhirnya tergerak untuk memulai pembangunan sekolah pertama di Korphe dan selanjutnya di Pakistan, Afghanistan, dan pelosok-pelosok lain di wilayah Himalaya itu? Selengkapnya bisa dibaca di buku Amira and Three Cups of Tea. 
3

Resensi Novel Sebelas Patriot: CERMINAN PATRIOTISME DALAM LAPANGAN HIJAU



Judul Buku                : Sebelas Patriot
Penulis                        : Andrea Hirata
Penerbit                      : Bentang
Cetakan pertama      : Juni 2011
Tebal                          : 124 halaman
Harga                         : Rp 39.000,00
           
Tentunya sudah tidak asing lagi bagaimana riuhnya gegap-gempita para pendukung sepakbola tanah air pada Piala Asia (AFF) 2010 lalu. Serentak gema cinta tanah air dan nasionalisme bergaung dimana-mana. Apalagi ketika pada final turnamen, tim PSSI dihadapkan pada sang “musuh bebuyutan”, Malaysia. Maka kesebelas atlet PSSI pun seolah berubah wujud menjadi tentara-tentara Republik Indonesia yang siap mengganyang musuh. Tak peduli bahwa posisi jagoan-jagoan timnas didominasi oleh pemain-pemain impor hasil naturalisasi seperti Christian Gonzales. Seluruh nusantara dimabuk kepayang dalam euforia sepak bola tanah air.
            Novel Ketujuh Andrea Hirata yang berjudul Sebelas Patriot seolah menyambut manis fenomena di atas. Hanya saja makna dalam novel ini lebih dalam karena kecintaan sang tokoh Ikal dan ayahnya terhadap sepak bola tidak hanya didasari euforia semata. Lebih dari itu, sepakbola bagi orang-orang Melayu adalah cerminan keberanian dalam melawan kedzaliman penjajah Belanda. Andrea menjelaskannya dengan sangat dramatis pada halaman ke-6-7:
Waktu demi waktu berlalu. Tertindas di bawah penjajahan,rakyat menemukan caranya sendiri untuk melawan. Para penyelam tradisional melawan dengan membocorkan kapal-kapaldagang Belanda yang mendekati perairan Belitong. Para pemburu melawan dengan meracuni sumur-sumur yang akan dilalui tentara Belanda. Para imam membangun pasukan rahasia di langgar-langgar. Para kuli parit tambang melawan dengan sepakbola.

            Dan cerita heroik akan perjuangan buruh-buruh timah Melayu semasa kolonialisme Belanda, yang mungkin tidak akan pernah dicatat dalam buku-buku diktat sejarah sekolah bermula ketika Ikal menemukan selembar foto usang. Foto seorang pemuda gagah berwajah sedih yang tengah memakai seragam sepak bola dan memegang piala. Mengapa orang itu tidak terlihat gembira walau menggenggam piala kemenangan? Siapa gerangan pemuda itu? Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi benak Ikal dan membawanya dalam pencarian sejarah buruh-buruh timah Belitong di masa kolonial.
Diceritakan bahwa kekejaman dan diskriminasi Belanda terhadap pribumi pun sampai dibawa-bawa ke kancah olahraga. Distric beheerder Van Holden yang membawahi wilayah ekonomipulau Bangka dan Belitong mengadakan berbagai pertandingan olahraga yang menjadi ironi. Ironi karena pertandingan itu harus diikuti orang-orang pribumi dalam rangka memperingati hari ulangtahun seorang ratu dari negara yang sudah menghisap habis kekayaan alam dan harkat hidup mereka. Peraturan dasar dalam pertandingan itu sudah jelas: orang pribumi diharamkan untuk menang jika melawan tim Belanda. Jika hukum ini dilanggar, jelas hukuman mengerikan diasingkan ke tangsi dan dibuat cedera seumur hidup, membayangi para atlet pribumi saat itu. Politisasi olahraga ternyata sudah berlangsung sejak zaman colonial ratusan tahun lalu. Mungkin dari sanalah para elit politik kita belajar.
Di tengah olahraga yang telah dipolitisasi dan tekanan batin olahragawan lokal itulah tersebar berita tentang tiga anak muda, para kuli parit tambang, yang lihai bermain bola. Mereka bersaudara, dipaksa menggantikan almarhum Bapak mereka untuk bekerja rodi sejak belasan tahun. Si sulung berlaku sebagai gelandang, si tengah berperan sebagai penjaga sayap kanan, dan si bungsu adalah pemain sayap kiri yang memiliki tendangan halilintar.  Di lapangan sepak bolalah satu-satunya tempat dimana mereka bisa dengan merdeka mengekspresikan jiwa di tengah getirnya suasana penjajahan. Mereka kemudian dipanggil untuk memperkuat tim Belanda, tapi menolak hingga akhirnya dibuang ke tangsi untuk membangun mercusuar. Kemudian pada tahun 1945 kedudukan Belanda mulai terancam. Ketiga saudara itu dikembalikan untuk bekerja di parit tambang. Tanpa  menghiraukan larangan Belanda untuk bertanding dan hukum ‘pribumi dilarang menang’, ketiga bersaudara itu maju dan memporak-porandakan pertahanan tim Belanda. Saat itu untuk pertama kalinya orang-orang Melayu dapat mempermalukan dan menggilas kaum penjajah. Ribuan penonton Indonesia pun menyambut si bungsu yang berhasil mencetak satu-satunya gol dalam pertandingan heroik itu. Dengan lantangnya, si bungsu berseru, “Indonesia! Indonesia!”
Namun, patriotisme itu harus dibayar mahal. Sang pelatih dan tiga bersaudara itu ditangkap, dikurung di tangsi, dan dikembalikan dengan fisik hancur. Tempurung kaki kiri si bungsu dihancurkan dan untuk selamanya ia tak bakal bisa bermain sepakbola lagi. Foto yang dipegang Ikal itu adalah foto si bungsu setelah memenangkan piala Van Holden. Dan betapa terkesimanya Ikal ketika tahu bahwa si bungsu itu ternyata adalah…
Tentunya akan lebih seru jika pembaca mengetahuinya dari buku aslinya. Seperti novel-novelnya yang terdahulu, novel tipis ini juga sarat akan pelajaran hidup dan motivasi. Sosok pemuda yang mempelajari sejarah dan menghargainya tercermin jelas dalam sosok ikal. Patriotisme dan heroism terlihat jelas dari cerita tentang Legenda Tiga Bersaudara. Pertandingan sepakbola pun bisa menjadi cerita kepahlawanan di tangan pemimpi keriting asal Belitong ini.
Kita pun juga akan dibuat terharu tentang bagaimana Ikal berusaha mencari nafkah sampai rela bekerja kasar demi membeli kaos asli Luis Figo bertanda tangan di Real Madrid, demi sang ayah tercinta yang diam-diam menggemari pemain Portugis itu di samping pemain-pemain PSSI. Kisah ini mengingatkan peresensi akan film The Terminal. Di film itu, Tom Hanks terlunta-lunta di bandara Amerika, setelah melakukan perjalanan jauh demi melengkapi tanda tangan pemain band jazz koleksi ayahnya. Sehingga tentu saja pembaca boleh berharap-harap bahwa kisah dari novel ini pun bisa segera diangkat ke dalam media audio-visual. Dan melihat promosi kover novel berjudul Ayah di akhir novel, bisa jadi novel tipis ini menjadi pengantar dari terbitnya kisah yang lebih lengkap lagi. Sama seperti novel Maryamah Karpov yang menjadi pengantar kisah Dwilogi Padang Bulan.
Novel ini dilengkapi dengan CD berisi 3 buah lagu, “Sebelas Patriot”, “PSSI Aku Datang”, dan Sorak Indonesia” yang syair-syairnya juga sangat heroik. Cocok didengarkan sambil membaca novel ini sehingga pembaca bisa semakin menghayati untaian kisahnya. Andrea Hirata menggubah sendiri lagu-lagu itu bahkan menjadi lead guitar dalam Band The Gila Bola asal Belitong yang dirangkul Andrea untuk menyajikan 3 lagu ini ke telinga penggemarnya.
Kita tahu bahwa keberadaan PSSI dikotori oleh bermacam isu politik. Apa yang sejatinya menjadi ajang olahraga untuk dinikmati ternyata bisa menjadi hal yang lain di mata para elit politik. Kejayaan PSSI pun kian tenggelam. Buktinya ketika pertandingan melawan Bahrain dan Qatar lalu, tim Christian Gonzales dicukur habis. PSSI makin dicaci dan dihujat di tanah air. Ironisnya dukungan para suporter pada timnaspun ikut-ikutan loyo, mengikuti performa timnas itu sendiri. Pada pertandingan Indonesia vs Qatar lalu PSSI harus menanggung rugi karena banyaknya tiket yang dicetak tak sebanding dengan sepinya pembeli. Ditinggal suporter karena sering kalah akhir-akhir ini, maka apakah masih bisa kita menggembar-gemborkan semangat nasionalisme dalam sepakbola? Tampaknya kita harus malu pada kesederhanaan dua orang laki-laki dari Belitong, Ikal dan ayahnya, yang dengan setia tetap mendukung PSSI, kalah atau menang.

Satu hal yang sangat menggelitik, ternyata Andrea Hirata pernah mencoba jadi pemain PSSI? Apa sih yang belum pernah dicoba si Kriting yang satu ini? 
0

The Beautiful Child -- Venus: Duka Lara si Gadis Cantik -- Torey Hayden

Venus: Duka Lara si Gadis Cantik, atau terjemahan dari The Beautiful Child adalah buku kedua Torey Hayden yang kusambar dari perpustakaan kota.



Judul: Venus: Duka Lara Si Anak Cantik
Penulis: Torey Hayden
Penerbit: Qanita (Mizan Group)
Cetak: Juni 2004
Harga: Rp 44.000,00
Tebal: 612 halaman

Berikut ringkasan ceritanya :

Tantangan yang dihadapi Torey kali ini adalah Venus. Tak jelas apa yang diderita anak ini - bisa jadi dia tunarungu, menderita kerusakan otak, atau kelainan mental. Yang pasti, keadaannya hampir-hampir katatonik - layaknya tanaman, dia hidup tapi tidak merespons orang-orang di sekelilingnya. Teman-teman sesama guru yang mengenal keluarga besar Venus yang berantakan (Ibunya mantan pelacur dengan 9 orang anak dan seringkali berganti-ganti pasangan. Beberapa orang anaknya berkebutuhan khusus dan beberapa lagi ada dipenjara) memperingatkan Torey untuk tidak terlalu banyak berharap pada muridnya yang satu ini. Namun, seperti biasa Torey tak kenal kata menyerah.

Kesabaran dan dedikasi Torey membuahkan hasil ketika gadis tujuh tahun itu menunjukkan minat pada tokoh komik She-Ra, Sang Dewi Kekuatan. Dari situlah kisah-kisah yang melatari keadaan Venus mulai terkuak -- kisah-kisah yang hampir tak tertanggungkan oleh Torey, di tengah keharusan menghadapi persoalan murid-muridnya yang lain dan seorang asisten dengan prinsip pengajaran yang benar-benar berseberangan dengannya (Julie). Dan ketika jemari kaki Venus harus diamputasi hipotermia, terkuaklah peristiwa mengerikan yang selalu dialami Venus dalam keluarganya. Dokter yang memeriksa Venus menemukan banyak sekali luka dan beberapa tulangnya menunjukkan pernah patah, selain itu ditemukan bekas ikatan di kedua tangannya. Kemudian, Venus menderita Hipotermiapun karena dipaksa untuk tidur di kamar mandi tanpa pakaian dengan suhu di bawah 0 derajat selama berbulan-bulan. Sungguh mengenaskan.

Berikut ini adalah beberapa gambaran tokoh-tokoh dalam buku tersebut :

1. Billy : Berusia 9 thn, mempunyai agresifitas liar, kelebihan tenaga, terlalu percaya diri, selalu berkomentar dengan lancang, dan temperamen yang meledak-ledak. Awalnya ia adalah tokoh paling memuakkan. Ia selalu membantah Torey, mengumpat-umpat dan mengejek Venus dengan julukan cewek psiko. Belakangan kemudian baru diketahui bahwa Billy ternyata termasuk anak jenius dengan IQ 140. Karakter Billy ini kemudian justru menjadi karakter favoritku di sini. Terutama setelah ia bersahabat dengan Jesse dan lalu dengan polosnya berkata bahwa kelas Torey adalah kelas terbaik baginya. Dengan mengesampingkan kelancangannya, beberapa pendapat Billy tentang ras kulit hitam dan putih dan juga tentang hal lain memang benar-benar mencerminkan kecerdasannya yang di atas rata-rata. Pelan tapi pasti ia berkembang menjadi karakter yang lebih simpatik dan berempati terhadap karakter lainnya terutama Jesse.

2. Jesse : Berusia 8 thn, menderita syndrome tourette (kontraksi otot berulang-ulang yang tak terkendali).  Jika panik, merasa terancam atau jengkel, otot-ototnya akan semakin mengejang tidak terkendali dan ia mengelurkan dengkingan suara yang sangat mengganggu. Syndrome tersebut menyebabkan Jesse amat terbelakang dalam akademik, walaupun sebenarnya IQ Jesse baik-baik saja. Jesse amat mudah marah dan bisa jadi sangat mengerikan bila sudah menyerang. Akhirnya ia bersahabat dengan Billy.

3. Shane dan Zane : Keduanya kembar identik dan berusia 6 thn, menderita FAS (Fetal Alcohol Syndrome - Syndrome alkohol janin yang disebabkan sang ibu yang terlalu banyak meminum alkohol saat mengandung). FAS mengakibatkan Shane dan Zane mempunyai fisik yang kecil bak peri, IQ dibawah rata-rata, hiperaktif dan gangguan konsentrasi parah.
4. Gwennie : Menderita HFA (Hight Function Autism - Autisme fungsi tinggi), obsesi berlebihan dengan negara-negara asing, mengoleksi pinsil berwarna kuning, peka terkadap rangsangan visual dan auditory tetapi cerdas dalam akademik. Dia bergabung di pertengahan tahun ajaran baru. Ia sangat hapal fakta-fakta geografis, kultural dan sejarah semua negara-negara asing! (Kau tahu kadang aku sangat iri dengan anak-anak autis. Mereka dilahirkan untuk jadi orang-orang yang super secara intelejensi!)

5. Alicia : Ia anggota paling terakhir kelas ini, menggantikan Gwennie yang pergi tak lama setelah ia masuk. Berumur 8 thn, Berbicara dengan Mimi (tangan kanannya) dan cenderung untuk mengucapkan kalimat-kalimat aneh. Keberadaannya kemudian terbukti sangat membantu Torey karena ia gemar berbicara secara intens dengan Venus walau komunikasi yang terjadi tentu saja lebih sering satu arah. Ia bersahabat dan memperlakukan Venus dengan sangat baik.

 Buku ini benar-benar membuktikan kesabaran Torey sebagai guru yang patut diacungi jempol. Sekali lagi aku benar-benar kagum dengan kemampuan manajemen kelas Torey. Semenjengkelkan apapun muridnya, ia selalu berhasil memegang kendali dan diakui superioritasnya oleh murid-murid badungnya. Ia tak mudah putus asa mencoba satu metode lalu metode lainnya, agar kelasnya yang penuh dengan tukang berkelahi itu bisa bersatu. Akhirnya, metode modifikasi perilaku dengan menggunakan sistem lampu lalu lintas dan pemberian poster merah, kuning, hijau sebagai peringatan hukuman dan hadiah yang membuat para anak didiknya lambat-laun mulai bisa mengendalikan dirinya.

Namun, bagaimanapun Torey hanyalah manusia biasa. Di dalam cerita ini ia menceritakan bahwa ia justru tidak bisa menghadapi asistennya sendiri Julie, yang memiliki pandangan nilai-nilai yang bertentangan. Tidak, Julie bukan tipe pemarah yang menyebalkan, sebaliknya Torey justru tidak tahan dengan sikapnya yang seperti Santa dan terkesan permisif dalam menanggapi kenakalan anak-anak. Hehehe...aku senyam-senyum sendiri pas membaca ketegangan khas antara karakter Torey yang koleris-sanguin dengan Julie yang jelas-jelas mellow-phlegmatis.
0

Just Another Kid- Murid Istimewa: Jerit Lirih Seorang Sahabat --- Torey Hayden

Belakangan ini aku menderita writer's block yang sangat parah. Aku tidak bisa melanjutkan cerpen lamaku atau membuat cerpen baru. Sementara beberapa karya teman-teman FLP ku mulai bermunculan di media massa dan bahkan ada yang sudah bisa menembus KOMPAS! Aku benar-benar frustasi dan mulai belajar menerima mungkin ini adalah fase bagiku untuk membaca dan mengumpulkan referensi. Dulu mungkin aku bisa berbangga karena misalnya bisa membuat cerpen-cerpen lengkap yang memenangkan lomba hanya dengan ide yang kudapat dari satu kalimat sebuah cerpen Seno Gumirah Adi Dharma. Dulu ide begitu membanjir datang dan pergi, tapi sekarang? Well, it's time to learn, Girl.


Rasa frustasiku ini membuatku ingin memakan dan mengunyah buku bulat-bulat! Model foto: Cempluk


Entah kenapa kemudian aku tertarik untuk membaca lagi karya-karya Torey Hayden. Torey Hayden adalah pakar psikologi pendidikan serta guru bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus. Sejak 1979, Torey mencatat perjuangannya dalam mengajar menjadi buku-buku yang mendapat sambutan luas. Di antara buku-bukunya adalah Sheila: Luka Hati Seorang Gadis Kecil, Sheila: Kenangan yang Hilang, Jadie: Tangis Tanpa Suara, Kevin: Belenggu Masa Lalu, dan Murid Istimewa: Jerit Lirih Seorang Sahabat, kelimanya diterbitkan Qanita dan menjadi best-seller.

Padahal, yeah tahu sendiri kan kalau buku-buku Torey Hayden itu nggak ada yang tipis dan tulisannya kecil-kecil pula. Dulu aku memang menganut paham "baca buku kalau nggak tebal itu rugi", tapi akhir-akhir ini aku malas membaca buku-buku berat dan lebih suka yang tipis atau bahkan komik. Buku-buku Torey sendiri semuanya menceritakan tentang anak-anak dalam kelas inklusi (kebutuhan khusus), dan jelas nggak bisa dijadikan topik skripsi olehku yang sedang menempuh pendidikan bahasa Inggris reguler. Jadi aku nggak tahu kenapa, aku langsung menyambar buku ini dari rak perpustakaan kota dan sekarang malah ketagihan untuk membaca buku-buku-buku Torey lagi dan lagi. Dulu sekali aku pernah menamatkan buku Sheila seri pertama dan kedua, itu sudah lama sekali, waktu aku masih SMA.



Anyway ketika aku memutuskan untuk membaca karya-karya Torey lagi, buku inilah yang pertama kusambar. Murid Istimewa, terjemahan dari Just Another Kid memuat kisah-kisah pengalaman Torey dalam mengajar kelas terakhirnya sebelum kemudian pindah ke Wales, berhenti jadi guru dan menikah. Pengalaman mengajar yang terakhir ini hampir sama seperti yang sudah-sudah. Sekitar lima anak lelaki dan perempuan dengan berbagai masalah berkumpul dalam satu ruang kelas dan membuat kekacauan. Kenyataan ini semakin diperparah karena Torey tidak memiliki asisten hingga pertengahan buku.




Judul: Murid Istimewa: Jerit Lirih Seorang Sahabat
Penulis: Torey Hayden
Penerbit: Qanita (Mizan Group)
Cetak: Maret 2004
Harga: Rp 54.500,00
Tebal: 752 halaman


Anak-anak dalam kelas terakhir Torey adalah:

1. Mariana, gadis berumur 12 tahun yang memiliki kecenderungan seksual yang tinggi.
2. Dirkie, anak laki-laki pengidap schizofrenia yang sukar diatur dan akan masturbasi setiap kali ia merasa terancam oleh lingkungannya.

3. Dua gadis bersaudara korban konflik antara Kristen Ortodoks dan Protestan di Irlandia, Geraldine dan Shemona. Geraldine yang lebih tua awalnya terlihat seolah sebagai anak paling normal dan biasa dalam grup bermasalah ini. Namun, ternyata justru ialah yang tingkahnya paling merepotkan Torey. Suka memanipulasi dan bermanis-manis padahal ia tidak memiliki empati terhadap orang lain, gemar mencuri barang dan menindas anak-anak lain yang lebih kecil, merampas barang mereka tanpa merasa bersalah. Karena perilaku terlalu dominannya, adiknya Shemona tidak mau berbicara dan menutup diri. Ia terang-terangan berkata bahwa ia membenci orang protestan, pendendam dan bersikap seolah dirinya selalu dikelilingi konflik yang tidak jauh berbeda dengan di Irlandia. Mendekati akhir cerita, bahkan ia menyalib dirinya sendiri di lantai! Parah banget deh! 

Aku benar-benar salut pada Torey yang bisa bertahan menjadi guru anak ini selama beberapa tahun tanpa berusaha mencekiknya. Dalam epilog diceritakan bahwa Geraldine adalah satu-satunya karakter yang tidak mengalami perkembangan perilaku ke arah yang lebih positif dan kemudian menghabiskan hidupnya dalam tempat perawatan bagi orang-orang yang mentalnya terganggu di Irlandia Utara

Shemona sebaliknya menjalani kehidupannya dengan lancar dan kemudian berhasil lulus dari universitas, sempat berkarir sebagai guru dan sekarang bekerja di penerbitan buku ajar.

4. Leslie seorang anak yang menderita gangguan autistik yang cukup parah. Awalnya Torey benar-benar kerepotan menghadapi Leslie karena Leslie sama sekali tak mau berpartisipasi dalam kelas dan satu-satunya yang dilakukan gadis kecil ini adalah ngompol atau berak di popoknya. Torey sangat frustasi karena ia tidak bisa memberi perhatian kepada murid-murid yang lain karena ia harus menangani Leslie. Itu juga diperparah dengan penyakit diabetes Leslie, sehingga jadwal makanannya sangat ketat dan siapa lagi yang bisa mengawasinya saat waktu sekolah kalau bukan Torey.

5. Shamie, anak lelaki ini baru bergabung di pertengahan tahun ajaran baru. Dia adalah sepupu Geraldine dan Shemona. Shamie digambarkan sebagai seorang anak yang tampan dengan potongan rambut yang buruk. Perilaku dan kemampuan akademisnya tidak terlalu parah dan aku menganggapnya sebagai oase di tengah kekacauan kelas. Ia tidak mahir dalam matematika tapi sangat menakjubkan dalam pelajaran sejarah. dan kesenian. Ladbrooke, asisten Torey yang sangat jelita berhasil menggabungkan kesenian, sejarah, dan matematika untuk mengajari Shamie seperti ketika mereka membuat replika kastil jaman abad pertengahan. Dia berhasil kembali ke kelas reguler dan terus membuat kemajuan hingga akhirnya berhasil kuliah dengan beasiswa olahraga. Bahkan kemudian menjadi pujaan para gadis karena ketampanan dan kebaikan hatinya. Hmm...jadi penasaran orang aslinya kayak apa hehehehe...

6. Ladbrooke, well yang terakhir ini adalah "murid paling tua" dalam kelas Torey. Sebenarnya dia adalah seorang ahli fisika jenius, sangat cantik, berambut pirang dan ibu dari Leslie. Kesan pertama yang didapatkan oleh orang-orang yang baru bertemu dengannya adalah JUDES. Ia sangat tertutup dan pelit dengan kata-kata sehingga mudah baginya untuk dicap sebagai orang yang sangat sombong. Suaminya, Tom adalah seorang pelukis eksentrik yang karakter ramahnya berkebalikan 180 derajat dengannya. Torey mulai bersitegang dengan karakter ini ketika ia sering menjemput Leslie dalam keadaan mabuk. Padahal, ia menyetir mobil. Ia bahkan pernah mengancam akan menuntut Torey ke pengadilan karena melarangnya mengantar Leslie pada suatu ketika. Padahal, Torey melakukannya karena wanita ini sedang mabuk.

Pada akhirnya, setelah sebuah insiden (ia muntah dan ambruk di kelas Torey), sikapnya mulai melunak dan bahkan menawarkan diri dengan sukarela untuk menjadi asisten Torey. Pada akhirnya setengah dari buku ini justru banyak bercerita tentang masa lalu Ladbrooke, perjuangannya yang jungkir balik dalam mengatasi ketergantungan alkohol yang parah. Rasa takutnya akan orang lain dan ketidakmampuannya untuk mengungkapkan pikiran dengan bebas terutama kepada orang baru. Image Ladbrooke yang awalnya digambarkan seperti Ratu Salju yang angkuh pun langsung lumer dan berganti kesan menjadi seorang wanita rapuh dengan pengendalian diri dan emosi yang sangat parah. Imej ini kemudian diperbaiki karena ialah yang berhasil membuat Shemona melepaskan diri dari kebisuannya.

Torey sendiri dalam situsnya, mengaku ia tak menyangka bahwa kemudian buku ini justru bercerita tentang Ladbrooke. Ia khawatir penerbit dan pembaca tidak akan menyukainya. Tapi toh yang terjadi adalah sebaliknya. Walaupun begitu, aku kurang menyukai buku ini justru karena menurutku proporsi curhatan Ladbrooke akan masa lalunya yang kelewat over.
0

MA YAN---Sanie B. Kuncoro. Perjuangan Gadis Kecil Dari Cina Dalam Mengenyam Pendidikan


Judul      : Ma Yan
Penulis   : Sanie B. Kuncoro
Penerbit : Bentang, Yogyakarta
Cetak     : 2009
Tebal      : vii + 214 Halaman

 "Aku harus menahan lapar selama lima belas hari hanya untuk membeli sebatang pena."

What do you think guys? Tagline yang menggetarkan bukan? Ibuku baru meminjam buku ini dari perpustakaan kota minggu lalu. Aku langsung tertarik untum membacanya setelah membaca serangkai kalimat di atas itu. Puasa lebih dari 2 pekan hanya untuk membeli sebuah pulpen? Gila! Aku jadi membandingkan dengan diriku sendiri yang bisa dibilang sangat ceroboh dalam menyimpan hal-hal renik seperti pulpen. Kemudahan memang sering membuat seseorang sering meremehkan berbagai hal.

Mayan adalah seorang gadis yang tinggal di kampung pedalaman Cina, agak dekat dengan perbatasan Mongolia. Kampung yang ditinggalinya adalah kampung yang sama sekali tak tersentuh gelora kemajuan ekonomi Cina akhir-akhir ini. Ketika tahun 2008 Cina heboh dengan persiapan Olimpiade 2008, orang-orang kampung tempat Mayan tinggal hidup dalam kemiskinan yang telah diwariskan dari generasi-generasi sebelum mereka dan menderita kelaparan karena ladang yang kekeringan. Program modernisasi penebangan-penenbangan pohon pada rezim Mao Zhe Dong tahun 60-an dulu adalah satu alasan mengapa daerah itu mengalami desertifikasi yang parah.

Ibu Mayan yang miskin terpaksa berhenti sekolah untuk menikah dengan suaminya, seorang veteran perang komunis yang juga sama miskinnya. Ia bertekad agar kemiskinan dan penderitaan yang dialaminya tidak akan diwariskan kepada putra-putrinya. Maka walau kemiskinan sangat mencekik kehidupan mereka, ia tetap mengirim Mayan, si putri sulung, dan dua adik laki-lakinya pergi ke sekolah berasrama yang jauhnya 20 kilometer! Ia membekali Mayan dengan uang 1 yuan untuk bekalnya selama seminggu, juga 7 kue mangkok untuk bekal makan malam selama di asrama.

Suatu hari ketika menemani temannya ke pasar, Mayan melihat sebuah pena yang sangat indah. Harganya 2 yuan. Sayang ia tidak membawa uang saat itu. Akhirnya demi membeli pena, ia menyimpan bekal satu yuannya. Akibatnya, ia tidak bisa membeli sayur untuk lauk makannya dan terpaksa bertahan dengan hanya memakan semangkok nasi putih yang hambar setiap harinya! 

Minggu berikutnya, ternyata sang ayah tidak memiliki uang sehingga ia tidak mendapatkan satu yuan lagi untuk melengkapi simpanannya dan membeli pena itu. Terpaksa ia berpuasa lagi! Bayangkan... Dan Mayan menjalaninya dengan penuh keikhlasan tanpa mengeluh. 


Ia menggambarkan masa penantiannya itu dengan kalimat, "Sekeping yuan itu bagai seorang pengantin yang menunggu pasangannya." Ah...ungkapan romantis yang sungguh pahit. Seminggu kemudian, barulah ia memperoleh satu yuannya yang lain dan berhasil membeli pena, yang kemudian menjadi barang paling berharga baginya. Betapa sebuah perjuangan yang sangat berat bagi seorang gadis Cina yang miskin. Hanya untuk sebuah pena!


Novel ini ditulis bergantian tiap bab antara sudut pandang ibu dan Mayan, sehingga banyak bagian yang diulang. Tapi menurutku itu justru membuat suasana hati dan kepedihan dalam cerita benar-benar terasa nyata. Kita diajak menyelami kesengsaraan hidup dari sudut pandang dua perempuan tegar sekaligus. Walau demikian, novel ini bukanlah novel cengeng yang menjual penderitaan dan air mata, tapi lebih pada perjuangan dan kepasrahan seorang insan akan takdirnya. Tengok surat yang ditulis Mayan ketika ia memohon kepada ibunya agar tidak dihentikan dari bersekolah. Sungguh-sungguh sangat mengharukan. 

Sebagai catatan tambahan, novel ini diterbitkan oleh penerbit Bentang Pustaka, sama seperti seri Laskar Pelangi. Tengok tulisan "Laskar Pelangi" yang ada di pojok kiri buku. Novel ini jelas dibuat dan diterbitkan bersamaan dengan merebaknya tren Laskar Pelangi... Sayangnya novel ini terasa kurang tuntas dalam penyelesaian ceritanya. Tidak seperti serial Laskar Pelangi yang menceritakan perkembangan tokoh utamanya dalam mengenyam pendidikan, hingga pencapaiannya ketika dewasa, akhir novel ini dibiarkan mengambang. 

Namun, sepertinya realita yang banyak terjadi di luar sana lebih cocok dengan ending semacam ini... Terkatung-katung... Pahit, tapi itulah hidup.

Yang paling ironis adalah sikap kita setelah membaca novel ini. Sebagian dari kita mungkin akan berurai air mata dalam menyimak perjuangan Mayan mengenyam pendidikan di tengah segala keterbatasan. Lalu seminggu kemudian, kita akan kembali bermalas-malasan, mengeluhkan dosen, guru, dan mata pelajaran yang semakin susah, dan sebagainya... Tanpa menyadari bahwa "hak" untuk mengeluhkan hal-hal semacam itu secara casual adalah anugerah...
0

Kampanye KCB (Kucing Cinta Buku)


Hola Nyaaan!

Selamat datang di blog baru Neko*. Blog KCB. Eits! KCB ini bukan singkatan dari Ketika Cinta Bertasbih lho ya... tapi merupakan kependekan dari Kucing Cinta Buku


Salah besar kalau kamu mengira blog ini adalah fanblog film ini...Anyway...itu nggak salah casting ya? Hehehe

Sebenarnya Neko sudah punya blog yang lain, A Cat On The Roof. Blog itu berisi tentang keseharian dan pemikiran Neko. Ada resensi bukunya juga sih. Tapi, Neko pingin punya blog tersendiri yang mengulas tentang buku-buku yang sudah Neko baca. Maka jadilah blog ini...taraaaaa!


Selain bercita-cita menjadi penulis buku (terutama penulis buku anak dan fiksi fantasi), impian Neko adalah menjadi editor yang bekerja di dunia penerbitan secara resmi (tidak hanya freelance). Kenapa Neko pingin jadi editor? Ya biar mudah dapat link ke penerbit mayor dong! Ah! Gitu aja nanya wkwkwk...


Tapi...jalan untuk menjadi editor ternyata nggak semudah yang Neko sangka. Setelah browsing-browsing, Neko baru tahu kalau ternyata selain mengedit naskah, seorang editor juga dituntut untuk mampu mempromosikan buku yang dia edit. Nah, karena itu kemampuan meresensi buku adalah mutlak! Hieee... Rasanya yang harus Neko pelajari semakin banyak saja. Nggak cuma itu, kemampuan bahasa Inggris juga akan menjadi nilai plus seorang editor. Karena dia bisa saja diminta untuk mengedit buku-buku terjemahan.


Nah, kalau soal English skill, Neko sih pede aja. Lulusan Sastra Inggris gitu lho! Hehehe... Tapi soal meresensi? Hmm...itu yang Neko belum terbiasa. Neko perlu latihan nih. Latihan membaca berbagai macam buku dari berbagai macam penerbit dan menulis resensinya (sebagai portofolio kalau mau melamar di penerbit-penerbit tersebut hehehe).


Ada beberapa reviewer buku yang Neko idolakan untuk saat ini. Yang pertama adalah Mbak Luz Balthasar (alias Mbak Melissa), lalu yang kedua adalah Oom Firmanto Purawan. Keduanya adalah pengelola blog yang sering Neko kunjungi ini: http://fikfanindo.blogspot.com/. Keunggulannya adalah, kedua orang itu adalah penulis, Oom Firmanto sendiri sudah menerbitkan buku berjudul Garuda 5: Utusan Iblis. Sedangkan Mbak Luz, adalah jawara pemenang lomba-lomba cerpen fiksi fantasi. Karya-karyanya sempat dimuat beberapa kali di STORY Teenlit Magazine. 


Nah, karena itu nggak heran kalau review-review mereka sangat dalam, juga nggak asal 'bantai'. Sebagai penulis mereka tentu tahu bagaimana jengkel atau sedihnya penulis yang karyanya dijelek-jelekkan oleh para reviewer di dunia maya. Sehingga, review mereka mengandung kritik yang sangat membangun bagi penulis buku yang karyanya mereka bedah. Neko senang membaca review mereka karena Neko bisa belajar berbagai macam teknik kepenulisan dari sana.


Nah, dengan berpatokan pada kualitas review mereka, Neko pun berlatih membuat resensi buku dan menuangkannya dalam blog ini. Neko akan berusaha mengulas buku-buku yang ada di sini seobyektif mungkin. Sisi plus dan minusnya akan berusaha Neko jabarkan (sekalian latihan jadi editor kan? Hehehe). 


Selain fikfanindo, Neko juga suka membuka blog-blog review buku seperti di bawah ini:

http://bukubukuganjil.blogspot.com/ Blog ini punya kenalan Neko di facebook. Namanya Ayu Phoebe. Neko kagum sama dia karena kemampuannya menyelesaikan buku-buku tebal dan berkonten "berat". Keren, benar-benar pecinta buku! Neko beberapa kali ngobrol sama dia soal buku di FB. Dia sering merekomendasikan buku-buku atau komik yang bisa Neko jadikan referensi untuk tulisan maupun studi Neko.


http://loresketch.blogspot.com/ Blog ini punya Mbak Luz B. Selain ulasan buku, yang paling Neko dari blog ini adalah tips-tips kepenulisannya yang advance dan unik banget! Ada juga beberapa cerpen beliau yang diposting di sini. Membaca blog ini akan membuat kamu sadar bahwa Mbak Luz bukan sekedar reviewer buku biasa. Beliau memang punya kapasitas sebagai pembedah karya, sekaligus penulis handal.


Ah...dengan terus belajar, semoga Neko bisa menyusul kemampuan orang-orang yang disebutkan di atas. Oh ya, kalau kamu punya blog khusus review buku tukeran link yuk? Juga kalau misalnya mau merekomendasikan blog-blog resensi buku yang bisa Neko jadikan bahan studi, feel free to drop your comments below...


Mari kita sebarkan virus cinta buku ke seluruh dunia! :D


Hihihi...ini kucingku yang paling bungsu "Si Cempluk" (cewek lho). Dia sedang berusaha belajar membaca. Kucing aja suka baca buku. Bagaimana dengan kamu? Hihihihi



catatan: buat yang mungkin nggak tahu, NEKO itu bahasa Jepang dari KUCING!